Tags
AAT, ELPT, GMAT, Handry Martha Yudha, MBA ITB, SBM ITB, SD BPI, SMAN 3 Bandung, SMPN 5 Bandung, Tes masuk MBA ITB, Toefl, USM ITB
Perjalanan. Mungkin tak melulu mengenai akademik, tapi tiga perempat hidup hingga saat ini begitulah yang terlewati, menempuh dunia pendidikan.
Dimulai saat meraba kehidupan, masih begitu polosnya bermain di Playgroup Tadikapuri (sedihnya, saat ini sudah dipugar menjadi rumah makan di bilangan Telagabodas), berkelanjutan di Taman Kanak-kanak Badan Perguruan Indonesia (BPI), menjuarai lomba mewarnai se-Kota Bandung di sana (ya dugaan anda benar, mengapa saya ingat juara ini? satu-satunya piala yang pernah saya dapat, mungkin sejauh ini), sempat ditawarkan ibu saya untuk melanjutkan di salah satu SD terkemuka di daerah Merdeka, namun menolak dengan alasan yang masih terngiang “Mamah, WC nya kotor, bau.”, pada akhirnya memilih SD BPI yang tak lain berseberangan dengan TK BPI. Anak ingusan ini pun melaju, banyak ingatan di sana. Mulai dari nilai ulangan perkalian yang 0, dipalak teman sekelas, adu jotos gara-gara lempar dompet teman dan nyangkut di atap, menyisakan mie baso karena kebanyakan menuang cuka dan sambal, mengikuti aubade di balaikota, mencetak 10 gol……lawan anak TK BPI, bintitan saat Ebtanas dan harus mengerjakan di ruang panitia, hingga cinta monyet dengan ……………….*hilang sinyal.
Peruntungan saya mengantarkan ke gerbang SMPN 5 Bandung. Banyak pengalaman yang tak kalah menarik untuk dikenang. Seperti memiliki band bernama The Mandorz yang hanya bisa memainkan satu lagu seumur hidupnya namun berhasil tembus audisi event bazaar dan upacara kelulusan di Sabuga, cinta monyet sih ga usah dibahas, sudah jelas, dan yang paling menancap ketika mengantarkan kelas 3A ke semifinal futsal antar kelas.
Singkat cerita, saya diterima di SMAN 3 Bandung. Sempat gagal melalui seleksi jalur prestasi bidang musik, puji syukur nilai mencukupi lewat jalur reguler. Masa SMA memang tak akan pernah habis untuk diceritakan di masa depan, selalu ada yang menarik untuk diungkit kembali. Mulai cinlok semasa Masa Orientasi Siswa, bertemu teman-teman yang akan selalu ada, menyatakan perasaan pertama kali di dek kapal di salah satu resto Dago atas (diterima dan hanya bertahan 1 bulan 2 hari), wisata budaya ke Banten, bermusik ceria bersama ekskul tercinta “Musik Klasik 3”, kabur ke tempat futsal saat tidak ada guru, juara 2 turnamen sepakbola antarkelas 3 dengan 3 gol, surprise ulang tahun saat kelas 3, dan segala senda gurau yang masih terekam jelas.
Kegamangan untuk melanjutkan ke jenjang kuliah menyeruak. Gagal di dua USM ITB pada 2008, membuat saya memilih Unpar. Bertahan 1 semester, hingga tidak kuat menjalani hari, ditambah rasa kepenasaran, akhirnya memutuskan cuti untuk les dan akhirnya mengikuti USM di bulan Maret 2009. SBM pun menjadi tempat berlabuh untuk 3 tahun kedepan (yang pada kenyataannya molor beberapa bulan). Pembelajaran paling penting semasa tingkat Sarjana ini adalah jangan gagal mempersiapkan. Tanpa perencanaan membuat saya menjalani perkuliahan yang hanya mengalir saja tanpa tahu target yang jelas. Alhasil, di 5 semester awal, IPK saya belum mampu menembus angka 3. Namun, dengan membanting tulang dan memeras kain pel, ups typo, memeras otak, Alhamdulillah nilai pun terkatrol mencapai 3.16. Bukan hal mudah, banyak lesson learned berharga. Cerita-cerita konyol dan menarik tak luput menghiasi, semacam manggung di Oddisey 2010, Teater EPIK, Rabu Raptor, Garage Sale Siete Cafe, Gathering Alumni SBM, dipercaya membuat lagu soundtrack untuk salah satu kandidat Presiden KM ITB, tiga tahun menetap di kelas B, Bingo Company IBE, DG 7 yang selalu sulit serius haha, Divisi Senbud, Geng Audi Kiri Bawah, mendadak Ciater, nilai D untuk CF yang bikin lulus jadi molor, para pejuang CF (we deserve a 2nd chance), CSR Ciwidey, kalah di final futsal melawan angkatan bawah, dan para pejuang skripsi hingga detik akhir, Aldi dan Tomy, dll. Sidang bulan Februari pun terlewati dengan senyuman. Wisuda April 2013 lalu menjadi gerbang berikutnya, kemana harus melangkah?
6 bulan setelahnya, belum ada kejelasan kemana akan berlanjut. Galauisasi belum juga padam. Sudah sekian perusahaan belum berhasil ditembus. Seleksi pertama saya Bank Mandiri, berhenti di interview HR, lalu Pertamina terhenti di psikotest, Nestle di interview HR, Danone di GMAT, Philips di interview Psikolog, dan Astra Motor di FGD. Sesuai rencana, jika sampai September belum juga ada satupun yang nyangkut, pilihannya adalah lanjut sekolah atau struggle dengan mencoba terus melamar. Saya mengambil pilihan pertama. MBA ITB saya pilih dengan pertimbangan kualitas yang baik, biaya dapat ditekan (berbeda apabila saya memilih untuk ke luar negeri, pos ini dipastikan membengkak), dan menjanjikan lingkungan serta teman yang kondusif. Setelah terakhir pulang dengan tangan hampa dari markas Astra di Sunter pada 7 September, saya bergegas melengkapi persyaratan untuk mengikuti tes, masih ada 2 minggu sebelum tes pada 20-21 September. Yang paling memakan waktu adalah meyakinkan ortu untuk mengizinkan saya melanjutkan studi (terutama ayah yang menyarankan saya untuk bekerja terlebih dahulu).
Setelah perdebatan alot di hari Minggu, saya kembali menghadap minggu depannya dengan telah membawa formulir, mau tak mau akhirnya mereka ikhlas memperbolehkan saya untuk terus. Dikarenakan telah memiliki sertifikat TOEFL, saya mengusahakan agar sertifikat tersebut dapat digunakan agar menambah hari bagi saya untuk mempelajari GMAT, atau disebut AAT untuk tes MBA ini. Bu Ninuk di bagian Career pun meluluskan permintaan saya itu karena memang sertifikat tersebut dapat dipergunakan, terutama karena tes TOEFL tersebut dikeluarkan oleh ETS. Bermodalkan buku GMAT dari Palasari (Thanks buat Teguh, senior di MBA yang memberi info buku GMAT), dan hanya tersisa 4 hari efektif untuk belajar, saya menghadapi tanggal 21 dengan ‘ya sudahlah’. Sesi Quantitative 37 soal dan Verbal 41 soal pun terlewati. Dengan minimum skor 400-420, sepengetahuan saya untuk mencapai skor itu kurang lebih saya harus menjawab benar sebanyak 28. Nothing to lose. Salah satu peserta lulusan UGM yang baru saya kenal waktu itu tiba-tiba berceletuk “wah, kamu kayanya lulus nih.” Entah mengapa ia berkata begitu, mungkin melihat kesok pedean yang mencoba menutupi kepasrahan saya, tapi saya anggap hal tersebut sebagai doa. Aamiin, Insya Allah.
5 hari berselang. Alhamdulillah sebuah e-mail bernada positif saya terima, lebih cepat dua hari dari yang dijanjikan. Kini langkah berikutnya telah clear, tinggal bagaimana dapat dimaksimalkan, hingga langkah setelahnya akan datang tanpa kesulitan berarti, dan akan terus bergulir, menuju tempat yang semestinya.
last updated: 03/10/2013 – dan akan terus diperbaharui